Ini
saya tulis waktu dulu, dulu banget, saat Desa saya dilanda angin puting
beliung. Biasanya, saya itu suka baper alias bawa perasaan, jadi dikit-dikit
curhat dalam bentuk cerita kaya gini. Sebelumnya, tulisan ini pernah saya post
juga di facebook, tapi berhubung blog saya sepi, jadi saya post ulang lagi aja.
hehe. Happy reading kawan :D
****************************
Ada luka, duka dan cerita. Diselimuti remang
cahaya padam, di bawah derasnya rintik hujan, diantara Dzuhur dan Ashar.
Kisahku tergores diantara ribuan tetes air langit. Ingin kulupakan segala
memori kala itu, namun tak semudah itu. Semua sudah melekat permanen dalam
ingatanku. Mengukir sejarah baru, menutup sejarah lalu. Setiap detiknya terekam
dalam imaji semesta.
Sebelas tahun lalu, aku seperti “itu”, jauh
sekali dari kata “hebat”. Sekarang? Masih dengan predikat yang sama, sama sekali
tak mendekati “hebat”. Dan sebelas tahun kedepan, masih tetap samakah? Akupun
tak tau. Namaku tak mengukir sejarah apapun. Sampai detik ini, aku tak tau
sejarah apa yang pernah aku torehkan, sedang aku lakukan, dan akan aku
ciptakan. Aku hanya mengikuti apa yang ada dalam sekenario. Ini peranku. Dan
ini jalan ceritaku. Tidakkah aku yang jadi pemain tunggal? Haruskah mereka ikut
dalam kisah ini? Memang harus. Tak sempurna kisahku tanpa mereka itu. Dan,
ketika klimaks sudah mulai nampak, terlihat jelas sifat aslinya. Suatu saat,
yang Kuat dan Hebat itu akan DI-lemahkan, TER-lemahkan, dan menjadi lemah
dengan sendirinya. Karena memang itulah sekenarionya.
Jangan, jangan kalian coba menelaah kisahku.
Jujur akupun tak tau peran apa yang sedang aku jalankan. Dengan prolog yang
cukup penuh dinamika, klimaks yang bergejolak, dan entah dengan epilognya,
endingnya. Dan, diakhir kisah, aku mulai merasa lelah. Aku mulai lemah. Aku
ingin memejamkan mata sekejap saja. Aku ingin merebahkan semua beban dipundaku,
berbaring dipangkuan Sang Sutradara. Disana, aku merasa aman, tenang, tanpa
beban. Pada pangkuan-NYA, aku teteskan air mata kebahagiaan, disana tak akan
ada ranjau yang menerkam. Aku benar-benar merasa aman dan nyaman. Di
pangkuan-NYA aku berbaring tanpa beban. Namun, lagi-lagi kisahku belum selesai
sampai disini. Ini belum saatnya aku istirahat. Masih banyak peran yang harus
aku mainkan. Aku harus bangkit dan melangkah lagi, dan lagi. Apa aku mampu? Aku
ibarat sebutir debu diantara ribuan keping emas. Tak dihiraukan oleh teriknya
mentari yang menyengat. Kemana debu itu akan singgah? Kearah mana angin
membawanya. Aku mengalir mengikuti arus air, tapi aku tak mau hanyut seperti
aku dalam kisahku. Aku tak mau melawan derasnya arah angin, kemanapun arahnya,
aku mengikuti. Karena memang inilah aturannya. Lantas, bagaimana jika itu
badai? Akankah aku sanggup terbang didalamnya? Jelas akan jauh lebih sulit.
Namun, untuk dapat menempuh badai, aku tak boleh berhenti, aku harus terus
berjalan. Namun faktanya, badai itu terlalu kuat. Menerjang apapun yang
dilaluinya, menghancurkannya, porak poranda. Bagaimana dengan aku? Apakah aku
juga akan hancur? Sekokoh dan semegah apapun bangunan, tak bisa dijadikan
pelindung, karena akan hancur jua. Hanya lantunan kalimat-kalimatnya yang terus
membasahi bibir ini, inilah satu-satunya pilar untuk aku kuat berdiri dan
melangkah ditengah dahsyatnya badai. Aku tak tau kapan kisahku akan usai.
Setiap yang dituliskan Sang Sutradara untuku, harus aku jalankan. Aku kini
mulai merasakan lelah sebelum akhir ceritaku. Aku ingin merasakan kenyamanan
disisi-NYA. Lagi dan lagi, ini belum waktunya. Lalui dulu badainya, genggam
anginnya, dan kendalikan arahnya. Mungkin aku akan tau siapa aku ini
sesungguhnya. Mampukah? Aku mencoba menjalankan peran sebaik mungkin, tanpa
celah sedikitpun, namun itu mustahil bagiku. Memang tak ada yang tak mungkin.
Namun banyak juga yang mustahil. Mana yang aku pilih? Jelas bukan pilihan
kedua. Dan, memang inilah jalan yang harus
aku lalui. Aku akan terus terbang kearah mana angin membawaku. Kearah
mana semesta memanggilku. Yaitu, kearah jalan yang sudah digariskan untukku..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar