Senin, 24 April 2017

Kapan Sejahteranya?

Bukan anak ekonomi si, tapi coba-coba aja pingin nge post artikel tentang ekonomi. hehe

KAPAN SEJAHTERANYA?

“Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sila ke 5 dari Dasar Negara kita, yaitu Pancasila. Pasti kita sudah tak asing lagi dengan kalimat tersebut. Selalu dibacakan saat upacara bendera di sekolah, terpampang juga di setiap kelas dibawah lambang negara yang diletakan di tembok depan atas, sehingga siapa saja mudah melihatnya. Namun, sudahkah kita merasakan sejahtera itu? Jika sudah, maka bagaimana dengan orang-orang disekeliling anda? Orang-orang yang jauh dari lingkungan anda? Bagaimana pula dengan mereka yang hidup di pedalaman? Di emperan toko? Di kolong jembatan? Di bantaran sungai? Bahkan, bagaimana pula dengan mereka yang hidup di perbatasan? Sejahterakah mereka? Mereka semua?
            Setiap kali ada pemilu (semua jenis pemilihan untuk memeilih seorang pemimpin) , saya sering melihat banyak diantara para calon, bahkan hampir semua yang mengkoar-koarkan “kesejahteraan”. Menjanjikan ini, menjanjikan itu, memberi ini, memberi itu, semua yang manis di lahap habis. Namun setelah mereka terpilih, semua yang mereka janjikan seolah hilang begitu saja, entah terlupa, atau malah sengaja dilupakan. Namun faktanya kesejahteraan itu belum bisa dirasakan secara merata. Entah kapan sila yang ke-5 itu akan terealisasikan. 71 tahun lebih Indonesia merdeka, itu usia yang sudah cukup tua, sudah banyak pula orang yang silih berganti memimpin Negara ini. Itu berarti sudah banyak program kerja yang disusun, banyak kebijakan-kebijakan yang direncanakan, dan banyak pula terobosan-terobosan cerdas dari otak orang-orang yang berlainan menduduki kursi nomor satu di Indonesia itu. Nyatanya, sampai sekarang belum ada yang bisa mewujudkan sila ke-5 yang disusun oleh para the founding father tersebut.
            Jika pun ia ada yang merasa sejahtera, bisa dilihat kok siapa-siapa saja yang sudah merasakan kesejahteraan. Lihat saja para pengusaha-pengusaha, para anggota DPR (yang menyalahgunakan tugas dan wewenangnya), para koruptor, para antek-antek penggelap uang rakyat, dan mereka-mereka yang berdasi, merasakan kerja di empuknya kursi, serta mudah tergiur akan kertas bergengsi. Sekarang kita hidup diabad ke-21, dimana yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Itu seolah sudah aturan mainnya.
            Saya masih ingat, pertama kali saya tahu setatus negara Indonesia adalah negara berkembang, itu waktu saya SD. Ketika saya SMP, Indonesia masih saja berkembang. Dan sampai saat ini, saya sudah SLTA, kenapa negara saya masih tetap berkembang? Apakah Indonesia akan tetap setia dengan setatusnya? sampai kapan? Apakah nanti saat anak saya, bahkan cucu, cicit, canggah, sampai undak-undak siwur saya bertanya kepada gurunya, jawabannya masih akan samakah? “Indonesia adalah negara berkembang!”. Lantas kapan majunya? Apa harus menunggu sampai semua koruptor itu mengakui kesalahannya dan mengembalikan uang curiannya pada rakyat? Menunggu sampai tak ada lagi pejabat negara yang tergiur dan memanipulasi financial APBN? Menunggu sampai semua penegak hukum sadar akan tugas dan tanggung jawabnya? Menunggu sampai setiap wajib pajak mau taat hukum dan tak lagi menyembunyikan assetnya yang miliyaran bahkan triliyunan itu? Sampai kapan kita harus tetap menunggu? Apa lagi sesuatu yang ditunggu itu sangat tidak pasti. Saya yakin, sila ke-5 itu tidak akan terealisasi sampai kapanpun, dan Indonesia akan tetap menjadi negara berkembang bahkan meuju miskin lalu tertinggal, jika orang-orang yang diberi wewenang masih saja tak sadar akan tanggung jawabnya, tak sadar akan amanah yang dipegangnya, dan tak sadar berapa banyak nantinya rakyat yang mati kelaparan akibat ulahnya.
Indonesia mungkin saja hanya sebuah nama nantinya. Jika para generasi mudanya juga acuh-tak acuh, tak hormat kepada orang tua, sudah lupa akan rasa nasionalisme dan patriotisme, lebih memilih gaya hidup hedonisme, hura-hura, foya-foya, narkotika, minuman keras, diskotik, sampai sex bebas, bahkan sering juga kita melihat di media, para pelajar saling tawuran dan membunuh hanya karna masalah sepele. Jika itu yang sekarang dibudayakan, maka hancur sudah negara ini.
Saya rasa banyak hal yang harus dibenahi oleh seorang pemimpin negara untuk benar-benar bisa merubah Indonesia ini. Tugas berat harus mereka pikul, mau tak mau, memang harus mau. Berani mencalonkan berarti harus berani mengemban amanah. Sekarang boleh saja para pejabat negara itu sedikit berbangga hati, karena bisa menjaga inflasi harga pangan. Sehingga merasa sudah mensejahterakan masyarakat. Namun, coba lihat para petani. Apakah mereka sudah merasa sejahtera juga?
Saya sempat mendengarkan sekumpulan petani yang sedang berbincang-bincang disela-sela waktu istirahat mereka, di bawah pohon yang cukup rindang untuk berteduh dari sengatan matahari. Lokasinya di tepian sawah. Saya kira obrolan mereka hanya seputar masalah rumah tangga atau mungkin obrolan ringan untuk sejenak melepas lelah usai bekerja. Namun ketika saya mulai mendekat dan terlibat didalam pembicaraan mereka, ternyata yang mereka bicarakan adalah masalah ketimpang-sejahteraan. Dimana para petani itu merasa tergencet oleh kebijakan pemerintah. Disaat biaya hidup mahal, tarif listrik per kwh naik, ongkos angkutan naik, biaya sekolah anak-anak semakin mahal saja, dan segala yang berhubungan dengan ekonomi yang dirasa sangat memberatkan mereka sebagai petani. Sementara  bahan pangan dan rempah-rempah yang mereka hasilkan harganya anjlok.
Lebih besar pasak dari pada tiang, itu memang ungkapan yang tepat dan sesuai dengan kondisi mereka saat ini. Bayangkan saja, penghasilan utama mereka adalah dari bertani dan berkebun. Mengolah hasil bumi dan alam lainnya, dari mulai bibit sampai panen, mereka terjun secara langsung. Bahkan ada beberapa hasil bumi dan rempah-rempah yang harus menunggu waktu sampai satu tahun lebih hingga siap panen. Itu berarti banyak dana yang mereka gelontorkan untuk merawat dan membesarkan sumber penghidupan mereka. Namun ketika waktu panen sudah tiba, harga di pasaran anjlok begitu saja. Harga tak lagi seperti dulu. Sebagai contoh, perhatikan data pada tabel berikut.
Daftar Harga Hasil Panen Petani
Grumbul Cilombang, Kec.Lumbir, Banyumas
Periode September 2016
No
Nama Hasil panen
Harga tertinggi (per Kg)
Harga sekarang (per Kg)
1
Merica
 Rp      180.000
 Rp        120.000
2
Jahe
 Rp        30.000
 Rp            2.500
3
Beras
 Rp        10.500
 Rp            7.500
4
gabah
 Rp          5.600
 Rp            4.500
5
singkong
 Rp          1.500
 Rp               600
6
cengkeh
 Rp      120.000
 Rp          80.000
7
Pisang (per tundun)
 Rp        25.000
 Rp          10.000
8
kapolaga
 Rp        80.000
 Rp          35.000
9
kedelai
 Rp        15.000
 Rp          11.000
10
cabai rawit
 Rp        20.000
 Rp          15.000
11
Kelapa (per butir)
 Rp          3.000
 Rp            2.000
Sumber : wawancara langsung
            Tabel diatas saya dapatkan dari hasil wawancara langsung dengan sekumpulan petani yang sedang berbincang-bincang saat itu. Terlihat jelas adanya ketimpangan harga saat musim panen tiba. Memang hal itu sudah menjadi hukum ilmu sosial, namun jelas itu sangat menyengsarakan para petani yang secara langsung mengolah sendiri hasil alam tersebut. Dari data tersebut saya mengambil sampel harga jahe untuk dibahas lebih dalam. Dulu di tempat saya melakukan wawancara dengan para petani tersebut, harga jahe sempat melejit sampai Rp. 30.000/kg. Jelas para petani bersyukur akan hal itu, karena mereka dapat memperoleh keuntungan atas apa yang telah mereka usahakan. Namun sekarang harga jahe hanya mencapai angka Rp.2.500/kg, itu jelas tak sebanding dengan modal yang mereka keluarkan untuk merawatnya. Rugi! Entah berapa banyak kerugian yang mereka alami. Saat ini, banyak jahe yang sampai membusuk dalam tanah, karena para petani tidak memanennya. Bagaimana mau dipanen, sementara para pengepul pun sudah tidak mau untuk menjualnya ke pasar karena para pengepul besar tidak membutuhkan banyak jahe lagi alasannya. Entah benar atau tidak, yang jelas para petani itu merasa sangat tidak sejahtera ditengah gencetan harga yang menjulang tinggi, namun bahan dagangan mereka dihargai sangat murah oleh pasar.
            Anjlognya harga pasti ada tangan kotor yang bermain di dalamnya. Siapa? Entahlah. Para petani itu tak dapat berbuat banyak, karena mereka tak mempunyai wewenang terhadap orang-orang yang berada di atasnya. Mereka juga rakyat kan? Ada wakil rakyat kah? Siapa mereka si wakil rakyat itu? Apa saja tugas mereka? Amanahkah mereka semua yang sekarang menjabat? Semoga saja. Kisah para petani itu hanya ulasan sedikit, tentang kesejahteraan yang timpang di Indonesia. Yang jelas masih ada banyak ketimpangan yang terjadi di luar sana baik yang terekspos media maupun tidak.
            Harapan belum mati. Masih ada titik terang untuk dapat merubah Indonesia, meski itu sulit, namun tak ada yang tak mungkin. Entah butuh waktu berapa tahun, berapa puluh tahun, atau bahkan ratusan tahun untuk merubah Indonesia menjadi Indonesia sejahtera. Itu bisa, jika dimulai dari dibenahinya para young generation, agar mereka sadar dan peduli akan nasib bangsa dan negaranya sendiri. Karena jika para generasi muda sekarang acuh tak acuh terhadap negara, maka di masa depan nanti negara ini pun akan acuh tak acuh terhadap mereka.

            Kembali menengok sejarah, adanya dasar negara Pancasila karena ada orang yang menyusunnya. Dan orang yang menyusunnya adalah orang-orang yang hebat pada masanya, dimana mereka memiliki harapan yang sangat besar pada negara ini, mereka memiliki rasa cinta tanah air yang sangat dalam. Jadi, apakah kita harus mengubur harapan para pahlawan itu yang sudah berjuang mati-matian membela negara ini dari kekuasaan penjajah yang tak berperikemanusiaan itu? Dahulu negara kita dijajah selama berabad-abad lamanya, dengan jiwa dan raga para pahlawan itu bahu membahu untuk mengusir penjajah asing dari bumi pertiwi sampai akhirnya diperolehlah kemerdekaan bagi kita. Sekarang merdeka hanyalah sebagai kata simbolis belaka, namun pada kenyataanya kita masih saja dijajah, penjajahan kapitalisme, bahkan oleh orang pribumi itu sendiri. Dan, kita harus tetap berjuang, bukan dengan senjata tajam layaknya bambu runcing lagi, namun kita harus berperang secara cerdas dengan otak dan hati kita, untuk memerangi mereka yang hanya mencari keuntungan belaka dari Indonesia yang majemuk ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar