Bukan anak ekonomi si, tapi coba-coba aja pingin nge post artikel tentang ekonomi. hehe
KAPAN SEJAHTERANYA?
“Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”, sila ke 5 dari Dasar Negara kita, yaitu
Pancasila. Pasti kita sudah tak asing lagi dengan kalimat tersebut. Selalu
dibacakan saat upacara bendera di sekolah, terpampang juga di setiap kelas
dibawah lambang negara yang diletakan di tembok depan atas, sehingga siapa saja
mudah melihatnya. Namun, sudahkah kita merasakan sejahtera itu? Jika sudah,
maka bagaimana dengan orang-orang disekeliling anda? Orang-orang yang jauh dari
lingkungan anda? Bagaimana pula dengan mereka yang hidup di pedalaman? Di
emperan toko? Di kolong jembatan? Di bantaran sungai? Bahkan, bagaimana pula
dengan mereka yang hidup di perbatasan? Sejahterakah mereka? Mereka semua?
Setiap
kali ada pemilu (semua jenis pemilihan untuk memeilih seorang pemimpin) , saya
sering melihat banyak diantara para calon, bahkan hampir semua yang
mengkoar-koarkan “kesejahteraan”. Menjanjikan ini, menjanjikan itu, memberi
ini, memberi itu, semua yang manis di lahap habis. Namun setelah mereka
terpilih, semua yang mereka janjikan seolah hilang begitu saja, entah terlupa,
atau malah sengaja dilupakan. Namun faktanya kesejahteraan itu belum bisa
dirasakan secara merata. Entah kapan sila yang ke-5 itu akan terealisasikan. 71
tahun lebih Indonesia merdeka, itu usia yang sudah cukup tua, sudah banyak pula
orang yang silih berganti memimpin Negara ini. Itu berarti sudah banyak program
kerja yang disusun, banyak kebijakan-kebijakan yang direncanakan, dan banyak
pula terobosan-terobosan cerdas dari otak orang-orang yang berlainan menduduki
kursi nomor satu di Indonesia itu. Nyatanya, sampai sekarang belum ada yang
bisa mewujudkan sila ke-5 yang disusun oleh para the founding father
tersebut.
Jika
pun ia ada yang merasa sejahtera, bisa dilihat kok siapa-siapa saja yang
sudah merasakan kesejahteraan. Lihat saja para pengusaha-pengusaha, para
anggota DPR (yang menyalahgunakan tugas dan wewenangnya), para koruptor, para
antek-antek penggelap uang rakyat, dan mereka-mereka yang berdasi, merasakan
kerja di empuknya kursi, serta mudah tergiur akan kertas bergengsi. Sekarang
kita hidup diabad ke-21, dimana yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin
miskin. Itu seolah sudah aturan mainnya.
Saya
masih ingat, pertama kali saya tahu setatus negara Indonesia adalah negara
berkembang, itu waktu saya SD. Ketika saya SMP, Indonesia masih saja
berkembang. Dan sampai saat ini, saya sudah SLTA, kenapa negara saya masih
tetap berkembang? Apakah Indonesia akan tetap setia dengan setatusnya? sampai
kapan? Apakah nanti saat anak saya, bahkan cucu, cicit, canggah, sampai
undak-undak siwur saya bertanya kepada gurunya, jawabannya masih akan samakah?
“Indonesia adalah negara berkembang!”. Lantas kapan majunya? Apa harus menunggu
sampai semua koruptor itu mengakui kesalahannya dan mengembalikan uang
curiannya pada rakyat? Menunggu sampai tak ada lagi pejabat negara yang tergiur
dan memanipulasi financial APBN? Menunggu sampai semua penegak hukum sadar akan
tugas dan tanggung jawabnya? Menunggu sampai setiap wajib pajak mau taat hukum
dan tak lagi menyembunyikan assetnya yang miliyaran bahkan triliyunan itu? Sampai
kapan kita harus tetap menunggu? Apa lagi sesuatu yang ditunggu itu sangat
tidak pasti. Saya yakin, sila ke-5 itu tidak akan terealisasi sampai kapanpun,
dan Indonesia akan tetap menjadi negara berkembang bahkan meuju miskin lalu
tertinggal, jika orang-orang yang diberi wewenang masih saja tak sadar akan
tanggung jawabnya, tak sadar akan amanah yang dipegangnya, dan tak sadar berapa
banyak nantinya rakyat yang mati kelaparan akibat ulahnya.
Indonesia mungkin saja hanya sebuah nama
nantinya. Jika para generasi mudanya juga acuh-tak acuh, tak hormat kepada
orang tua, sudah lupa akan rasa nasionalisme dan patriotisme, lebih memilih
gaya hidup hedonisme, hura-hura, foya-foya, narkotika, minuman keras, diskotik,
sampai sex bebas, bahkan sering juga kita melihat di media, para pelajar saling
tawuran dan membunuh hanya karna masalah sepele. Jika itu yang sekarang
dibudayakan, maka hancur sudah negara ini.
Saya rasa banyak hal yang harus dibenahi
oleh seorang pemimpin negara untuk benar-benar bisa merubah Indonesia ini.
Tugas berat harus mereka pikul, mau tak mau, memang harus mau. Berani
mencalonkan berarti harus berani mengemban amanah. Sekarang boleh saja para
pejabat negara itu sedikit berbangga hati, karena bisa menjaga inflasi harga
pangan. Sehingga merasa sudah mensejahterakan masyarakat. Namun, coba lihat
para petani. Apakah mereka sudah merasa sejahtera juga?
Saya sempat mendengarkan sekumpulan
petani yang sedang berbincang-bincang disela-sela waktu istirahat mereka, di
bawah pohon yang cukup rindang untuk berteduh dari sengatan matahari. Lokasinya
di tepian sawah. Saya kira obrolan mereka hanya seputar masalah rumah tangga
atau mungkin obrolan ringan untuk sejenak melepas lelah usai bekerja. Namun
ketika saya mulai mendekat dan terlibat didalam pembicaraan mereka, ternyata
yang mereka bicarakan adalah masalah ketimpang-sejahteraan. Dimana para petani
itu merasa tergencet oleh kebijakan pemerintah. Disaat biaya hidup mahal, tarif
listrik per kwh naik, ongkos angkutan naik, biaya sekolah anak-anak semakin
mahal saja, dan segala yang berhubungan dengan ekonomi yang dirasa sangat
memberatkan mereka sebagai petani. Sementara
bahan pangan dan rempah-rempah yang mereka hasilkan harganya anjlok.
Lebih besar pasak dari pada tiang,
itu memang ungkapan yang tepat dan sesuai dengan kondisi mereka saat ini.
Bayangkan saja, penghasilan utama mereka adalah dari bertani dan berkebun.
Mengolah hasil bumi dan alam lainnya, dari mulai bibit sampai panen, mereka
terjun secara langsung. Bahkan ada beberapa hasil bumi dan rempah-rempah yang
harus menunggu waktu sampai satu tahun lebih hingga siap panen. Itu berarti
banyak dana yang mereka gelontorkan untuk merawat dan membesarkan sumber
penghidupan mereka. Namun ketika waktu panen sudah tiba, harga di pasaran
anjlok begitu saja. Harga tak lagi seperti dulu. Sebagai contoh, perhatikan data
pada tabel berikut.
|
Daftar Harga Hasil Panen Petani
Grumbul Cilombang, Kec.Lumbir, Banyumas
Periode September 2016
|
|||
|
No
|
Nama Hasil panen
|
Harga tertinggi (per Kg)
|
Harga sekarang (per Kg)
|
|
1
|
Merica
|
Rp 180.000
|
Rp 120.000
|
|
2
|
Jahe
|
Rp 30.000
|
Rp 2.500
|
|
3
|
Beras
|
Rp 10.500
|
Rp 7.500
|
|
4
|
gabah
|
Rp 5.600
|
Rp 4.500
|
|
5
|
singkong
|
Rp 1.500
|
Rp 600
|
|
6
|
cengkeh
|
Rp 120.000
|
Rp 80.000
|
|
7
|
Pisang (per tundun)
|
Rp 25.000
|
Rp 10.000
|
|
8
|
kapolaga
|
Rp 80.000
|
Rp 35.000
|
|
9
|
kedelai
|
Rp 15.000
|
Rp 11.000
|
|
10
|
cabai rawit
|
Rp 20.000
|
Rp 15.000
|
|
11
|
Kelapa (per butir)
|
Rp 3.000
|
Rp 2.000
|
Sumber
: wawancara langsung
Tabel diatas saya dapatkan dari
hasil wawancara langsung dengan sekumpulan petani yang sedang
berbincang-bincang saat itu. Terlihat jelas adanya ketimpangan harga saat musim
panen tiba. Memang hal itu sudah menjadi hukum ilmu sosial, namun jelas itu
sangat menyengsarakan para petani yang secara langsung mengolah sendiri hasil
alam tersebut. Dari data tersebut saya mengambil sampel harga jahe untuk
dibahas lebih dalam. Dulu di tempat saya melakukan wawancara dengan para petani
tersebut, harga jahe sempat melejit sampai Rp. 30.000/kg. Jelas para petani
bersyukur akan hal itu, karena mereka dapat memperoleh keuntungan atas apa yang
telah mereka usahakan. Namun sekarang harga jahe hanya mencapai angka
Rp.2.500/kg, itu jelas tak sebanding dengan modal yang mereka keluarkan untuk
merawatnya. Rugi! Entah berapa banyak kerugian yang mereka alami. Saat ini,
banyak jahe yang sampai membusuk dalam tanah, karena para petani tidak
memanennya. Bagaimana mau dipanen, sementara para pengepul pun sudah tidak mau
untuk menjualnya ke pasar karena para pengepul besar tidak membutuhkan banyak
jahe lagi alasannya. Entah benar atau tidak, yang jelas para petani itu merasa
sangat tidak sejahtera ditengah gencetan harga yang menjulang tinggi, namun
bahan dagangan mereka dihargai sangat murah oleh pasar.
Anjlognya harga pasti ada tangan
kotor yang bermain di dalamnya. Siapa? Entahlah. Para petani itu tak dapat
berbuat banyak, karena mereka tak mempunyai wewenang terhadap orang-orang yang
berada di atasnya. Mereka juga rakyat kan? Ada wakil rakyat kah? Siapa mereka
si wakil rakyat itu? Apa saja tugas mereka? Amanahkah mereka semua yang
sekarang menjabat? Semoga saja. Kisah para petani itu hanya ulasan sedikit,
tentang kesejahteraan yang timpang di Indonesia. Yang jelas masih ada banyak
ketimpangan yang terjadi di luar sana baik yang terekspos media maupun tidak.
Harapan belum mati. Masih ada titik
terang untuk dapat merubah Indonesia, meski itu sulit, namun tak ada yang tak
mungkin. Entah butuh waktu berapa tahun, berapa puluh tahun, atau bahkan
ratusan tahun untuk merubah Indonesia menjadi Indonesia sejahtera. Itu bisa,
jika dimulai dari dibenahinya para young generation, agar mereka sadar
dan peduli akan nasib bangsa dan negaranya sendiri. Karena jika para generasi muda
sekarang acuh tak acuh terhadap negara, maka di masa depan nanti negara ini pun
akan acuh tak acuh terhadap mereka.
Kembali menengok sejarah, adanya
dasar negara Pancasila karena ada orang yang menyusunnya. Dan orang yang
menyusunnya adalah orang-orang yang hebat pada masanya, dimana mereka memiliki
harapan yang sangat besar pada negara ini, mereka memiliki rasa cinta tanah air
yang sangat dalam. Jadi, apakah kita harus mengubur harapan para pahlawan itu
yang sudah berjuang mati-matian membela negara ini dari kekuasaan penjajah yang
tak berperikemanusiaan itu? Dahulu negara kita dijajah selama berabad-abad
lamanya, dengan jiwa dan raga para pahlawan itu bahu membahu untuk mengusir
penjajah asing dari bumi pertiwi sampai akhirnya diperolehlah kemerdekaan bagi
kita. Sekarang merdeka hanyalah sebagai kata simbolis belaka, namun pada
kenyataanya kita masih saja dijajah, penjajahan kapitalisme, bahkan oleh orang
pribumi itu sendiri. Dan, kita harus tetap berjuang, bukan dengan senjata tajam
layaknya bambu runcing lagi, namun kita harus berperang secara cerdas dengan
otak dan hati kita, untuk memerangi mereka yang hanya mencari keuntungan belaka
dari Indonesia yang majemuk ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar