Minggu, 30 April 2017

TOLERANSI YANG BERUJUNG BOBROKNYA MORAL DAN AQIDAH

Tulisan ini awalnya gue ketik buat ikutan lomba karya tulis gitu sii, tapi ujungnya malah ngebahas curahan hati yang menggebu-gebu. maklumlah, umur2 kelas XI itu kan lagi alay-alaynya, apa2 dibikin baper. okey buat kalian2 yang udah meluangkan waktu ngebuka ini blog, selamat membaca, atau sekeder ngelongok pun gak papa. hehe :D

                                                                         ***** 
Apa yang terlintas dibenak kalian ketika mendengar kalimat “valentine days”? Ya, tepat sekali, hari kasih sayang. Sweet moment yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari ini banyak dimanfaatkan oleh anak muda terutama teenagers untuk ber-sayang-ria dengan pasangannya masing-masing. Namun, sejak kapan momentum seperti ini berlangsung? Tahukah kita asal-usul hari valentine? Bagaimana Islam memandang hari tersebut? Jika kita tela’ah lebih dalam tentang valentine days, maka semakin banyak pertanyaan yang terlogika otak yang akan muncul dengan sendirinya.
Dalam suatu cerita yang dikemukakan oleh seorang ‘Mantan Biarawati’ atau pakar kristologi bernama Hj. Irena Handono, menyatakan bahwa berdasarkan cerita yang berkembang, valentine day ini pertama kali diperingati pada tahun 498 M. Namun mulai merambah Indonesia pada awal tahun 2000-an. Singkat cerita, ketika itu seorang yang diyakini sebagai ikon valentine day yang bernama Pastur Valentino jatuh cinta kepada seorang gadis buta. Sebelum Valentino meninggal (berdasarkan cerita, Pastur Valentino dikenai hukuman mati oleh Sang Penguasa karena suatu permasalahan), ia menulis sebuah surat cinta untuk sang gadis. Keajaiban disini muncul, sang gadis seketika sembuh dari kebutaannya. Itu hanya sekilas cerita yang berkembang di masyarakat. Kebenarannya? Jelas belum 100% akurat.  Banyak perbedaan mengenai sejarah valentine day ini. Dan belum diketahui secara pasti sumber mana yang terbukti keakuratan informasinya. Atau mungkin kisah yang beredar hanya sekedar kisah rancau yang menyesatkan. Entahlah. Wallahu a’lam bis sowwab. Sekarang, bukan itu yang akan kita permasalahkan, namun lebih condong kearah pandangan Islam sendiri.
Para ikhmawan ikhmawati yang dirahmati Allah, dalam Islam sama sekali tak ada perintah untuk merayakan hari kasih sayang, karena apa? Kenapa mengungkapkan sayang hanya diperingati sekali dalam setahun? Dalam satu tahun ada 365 hari, dan valentine day hanya satu hari. Itu berarti jika di kalkulasikan dengan ilmu matematika, kita sangat rugi. Kenapa hanya satu hari itu saja yang dimaknai hari kasih sayang? Lantas kemana ynag 364 hari? Disebut hari kebenciankah? Tidak bukan!
 Bukankah Islam itu penuh dengan rahmat? Penuh dengan kasih sayang? Dalam Islam, setiap hari adalah hari yang penuh dengan kasih, sayang, dan cinta. Bukan sekedar dengan sesama manusia, tapi juga kepada Sang Khalik.
“Memperingati hari valentine memang tak ada perintahnya sama sekali dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, namun bukankah tak ada larangan-Nya juga? Jadi sah-sah saja bukan?”. Inilah bahayanya jika kita mendalami Islam dari covernya saja, kalimat di atas merupakan pertanyaan yang saya katakan “kuno”. Memang tak ada perintah maupun larangan untuk merayakan hari valentine, namun sebagai umat Islam yang khanif, tentu kita bisa mem-filter mana budaya yang baik untuk kita tiru, dan mana budaya yang buruk, yang apabila kita tiru akan menyimpang dari aqidah Islam yang semurni-murninya.
Realita yang terjadi pada abad ke 21 ini, banyak diantara ‘young generation’ Islam yang justru malah giat merayakan hari valentine setiap tahun. Coklat dan bunga sebagai lambang kasih sayang. Memang miris jika kita telaah, budaya yang tak sesuai dengan tuntutan Rasulullah SAW, justru dilestarikan oleh pengikutnya. Sebagian dari mereka mengatakan, “Ini adalah bagian dari toleransi umat beragama di Indonesia!”. Tarik satu kata dari kalimat tadi, ya, kata “TOLERANSI”.
Toleransi berarti saling menghargai. Multikulturalisme di Indonesia memang sangat dijunjung tinggi. Indonesia itu majemuk, kaya akan agama dan budaya. Ada 5 agama besar yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Khatolik, Hindu, dan Budha. Semua agama itu hidup berdampingan sampai sekarang. Apa buktinya bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi ke-beragama-an dan keberagaman budaya? Dalam Pancasila sila pertama disebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Atas dasar inilah kata TOLERANSI dijunjung tinggi. Ya, memang Indonesia sangat menghargai segala kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya. Islam juga sangat menganjurkan toleransi, bukan hanya dengan sesama umat Islam, namun juga dengan umat lainnya.  Namun jika merayakan hari valentine merupakan bagian dari toleransi multikulturalisme yang ada di Indonesia, dalam pandangan Islam itu keliru.
Jika dilogikakan, ini akan terdengar lucu, konyol, dan aneh. Tapi, memang seperti ini faktanya. Valentine Days merupakan budaya umat non Islam, yaitu umat Kristen. Sementara beberapa gereja di Rusia dan Amerika Serikat justru melarang dengan keras umatnya untuk merayakan valentine days ini. Loh, kenapa? Jelas karena dampak negatif yang cenderung timbul. Ketika valentine day, sayang bukan lagi sekedar ungkapan, cinta bukan lagi sekedar komitmen, tapi lebih dari itu. Al hasil, berujung pada cinta yang ‘kebablasan’. Pada hari itu, narkotika, minuman keras, kebebasan tak berbatas, dan kemaksiyatan merajalela. Valentine tak lagi dimaknai kasih sayang dalam artian etimologi, tapi valentine adalah hari ketika kemaksiatan diserentakan di penjuru dunia. Na’udzubillah, summa na’udzubillah himindzalik.
Ikhmawan-ikhmawati yang dirahmati Allah, kenapa ketika Gereja sudah jelas melarang, umat Islam malah melestarikan? Diibaratkan, valentine day adalah bid’ah bagi umat Kristen. Tapi lagi-lagi muncul pertanyaan, kenapa bid’ah itu justru dilalap habis oleh umat Islam? Tak malukah kita dengan Rasulallah? Tak malukah kita dengan para sahabat Rasul? Tak malukah kita dengan orang-orang yang mati syahid, mereka berjuang mati-matian hanya untuk menegakan agama Allah, tapi apa? Apa balasan kita? Kita malah merusak Agama yang khanif ini, kita bengkokan aqidah kita hanya untuk kemaksiyatan dunia.
Sayang tak selalu harus terjerumus, cinta tak selalu harus bermaksiat ria. Jangan jadikan satu hari sebagai simbol ataupun ketaklidan yang semu. Buka mata lebar-lebar, buka hati luas-luas. Lihat dampak apa yang akan ditimbulkan jika kita ikut-ikutan merayakan hari valentine. Karena setiap intervensi yang kita ambil, itulah yang akan menentukan nasib kita. Hidup di dunia hanya untuk maksiatkah? Tentu tidak! Renungilah kembali QS. Al-Baqarah : 208, yang artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh ynag nyata bagimu.”
Jika kita benar-benar telah masuk islam secara kaffah, kita tak akan mengartikan merayakan valentine day sebagai bagian dari toleransi keberagamaan. Sekali lagi, Islam memang sangat menjunjung tinggi toleransi terhadap umat lain, tapi bukan dalam hal Aqidah. Ini aqidah kita sebagai umat yang diridhoi Allah. Dalam hal aqidah, Islam tegas, tinggal bagaimana manusianya yang mengimplementasikan dalam kehidupan.
Jadi jangan tukar aqidah kita, hanya dengan alasan kebersamaan dan persatuan. Ihdinas sirootol mustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang lurus. Not only “say no to valentine day”, but say no to “kemaksiatan”!!
                                                                                                                         Awal Februari, 2016

Teruntuk Kau


Dalam diamku, aku meronta
Menahan rindu, nan tak ber-cara
Dala rontaku, ku ukir tawa
Sekadar kamuflase penedar rasa
          Kataku, memang tak seelok karya Rendra
          Intuisiku pun tak selayak goresan Hamka
          Namun satu, bahkan lebih seumpama
          Semua berujung untuk Kau nan jauh di sana...


                                                                                                                       KotaSari, 30/4/17, 18:55

Senin, 24 April 2017

Kapan Sejahteranya?

Bukan anak ekonomi si, tapi coba-coba aja pingin nge post artikel tentang ekonomi. hehe

KAPAN SEJAHTERANYA?

“Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sila ke 5 dari Dasar Negara kita, yaitu Pancasila. Pasti kita sudah tak asing lagi dengan kalimat tersebut. Selalu dibacakan saat upacara bendera di sekolah, terpampang juga di setiap kelas dibawah lambang negara yang diletakan di tembok depan atas, sehingga siapa saja mudah melihatnya. Namun, sudahkah kita merasakan sejahtera itu? Jika sudah, maka bagaimana dengan orang-orang disekeliling anda? Orang-orang yang jauh dari lingkungan anda? Bagaimana pula dengan mereka yang hidup di pedalaman? Di emperan toko? Di kolong jembatan? Di bantaran sungai? Bahkan, bagaimana pula dengan mereka yang hidup di perbatasan? Sejahterakah mereka? Mereka semua?
            Setiap kali ada pemilu (semua jenis pemilihan untuk memeilih seorang pemimpin) , saya sering melihat banyak diantara para calon, bahkan hampir semua yang mengkoar-koarkan “kesejahteraan”. Menjanjikan ini, menjanjikan itu, memberi ini, memberi itu, semua yang manis di lahap habis. Namun setelah mereka terpilih, semua yang mereka janjikan seolah hilang begitu saja, entah terlupa, atau malah sengaja dilupakan. Namun faktanya kesejahteraan itu belum bisa dirasakan secara merata. Entah kapan sila yang ke-5 itu akan terealisasikan. 71 tahun lebih Indonesia merdeka, itu usia yang sudah cukup tua, sudah banyak pula orang yang silih berganti memimpin Negara ini. Itu berarti sudah banyak program kerja yang disusun, banyak kebijakan-kebijakan yang direncanakan, dan banyak pula terobosan-terobosan cerdas dari otak orang-orang yang berlainan menduduki kursi nomor satu di Indonesia itu. Nyatanya, sampai sekarang belum ada yang bisa mewujudkan sila ke-5 yang disusun oleh para the founding father tersebut.
            Jika pun ia ada yang merasa sejahtera, bisa dilihat kok siapa-siapa saja yang sudah merasakan kesejahteraan. Lihat saja para pengusaha-pengusaha, para anggota DPR (yang menyalahgunakan tugas dan wewenangnya), para koruptor, para antek-antek penggelap uang rakyat, dan mereka-mereka yang berdasi, merasakan kerja di empuknya kursi, serta mudah tergiur akan kertas bergengsi. Sekarang kita hidup diabad ke-21, dimana yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Itu seolah sudah aturan mainnya.
            Saya masih ingat, pertama kali saya tahu setatus negara Indonesia adalah negara berkembang, itu waktu saya SD. Ketika saya SMP, Indonesia masih saja berkembang. Dan sampai saat ini, saya sudah SLTA, kenapa negara saya masih tetap berkembang? Apakah Indonesia akan tetap setia dengan setatusnya? sampai kapan? Apakah nanti saat anak saya, bahkan cucu, cicit, canggah, sampai undak-undak siwur saya bertanya kepada gurunya, jawabannya masih akan samakah? “Indonesia adalah negara berkembang!”. Lantas kapan majunya? Apa harus menunggu sampai semua koruptor itu mengakui kesalahannya dan mengembalikan uang curiannya pada rakyat? Menunggu sampai tak ada lagi pejabat negara yang tergiur dan memanipulasi financial APBN? Menunggu sampai semua penegak hukum sadar akan tugas dan tanggung jawabnya? Menunggu sampai setiap wajib pajak mau taat hukum dan tak lagi menyembunyikan assetnya yang miliyaran bahkan triliyunan itu? Sampai kapan kita harus tetap menunggu? Apa lagi sesuatu yang ditunggu itu sangat tidak pasti. Saya yakin, sila ke-5 itu tidak akan terealisasi sampai kapanpun, dan Indonesia akan tetap menjadi negara berkembang bahkan meuju miskin lalu tertinggal, jika orang-orang yang diberi wewenang masih saja tak sadar akan tanggung jawabnya, tak sadar akan amanah yang dipegangnya, dan tak sadar berapa banyak nantinya rakyat yang mati kelaparan akibat ulahnya.
Indonesia mungkin saja hanya sebuah nama nantinya. Jika para generasi mudanya juga acuh-tak acuh, tak hormat kepada orang tua, sudah lupa akan rasa nasionalisme dan patriotisme, lebih memilih gaya hidup hedonisme, hura-hura, foya-foya, narkotika, minuman keras, diskotik, sampai sex bebas, bahkan sering juga kita melihat di media, para pelajar saling tawuran dan membunuh hanya karna masalah sepele. Jika itu yang sekarang dibudayakan, maka hancur sudah negara ini.
Saya rasa banyak hal yang harus dibenahi oleh seorang pemimpin negara untuk benar-benar bisa merubah Indonesia ini. Tugas berat harus mereka pikul, mau tak mau, memang harus mau. Berani mencalonkan berarti harus berani mengemban amanah. Sekarang boleh saja para pejabat negara itu sedikit berbangga hati, karena bisa menjaga inflasi harga pangan. Sehingga merasa sudah mensejahterakan masyarakat. Namun, coba lihat para petani. Apakah mereka sudah merasa sejahtera juga?
Saya sempat mendengarkan sekumpulan petani yang sedang berbincang-bincang disela-sela waktu istirahat mereka, di bawah pohon yang cukup rindang untuk berteduh dari sengatan matahari. Lokasinya di tepian sawah. Saya kira obrolan mereka hanya seputar masalah rumah tangga atau mungkin obrolan ringan untuk sejenak melepas lelah usai bekerja. Namun ketika saya mulai mendekat dan terlibat didalam pembicaraan mereka, ternyata yang mereka bicarakan adalah masalah ketimpang-sejahteraan. Dimana para petani itu merasa tergencet oleh kebijakan pemerintah. Disaat biaya hidup mahal, tarif listrik per kwh naik, ongkos angkutan naik, biaya sekolah anak-anak semakin mahal saja, dan segala yang berhubungan dengan ekonomi yang dirasa sangat memberatkan mereka sebagai petani. Sementara  bahan pangan dan rempah-rempah yang mereka hasilkan harganya anjlok.
Lebih besar pasak dari pada tiang, itu memang ungkapan yang tepat dan sesuai dengan kondisi mereka saat ini. Bayangkan saja, penghasilan utama mereka adalah dari bertani dan berkebun. Mengolah hasil bumi dan alam lainnya, dari mulai bibit sampai panen, mereka terjun secara langsung. Bahkan ada beberapa hasil bumi dan rempah-rempah yang harus menunggu waktu sampai satu tahun lebih hingga siap panen. Itu berarti banyak dana yang mereka gelontorkan untuk merawat dan membesarkan sumber penghidupan mereka. Namun ketika waktu panen sudah tiba, harga di pasaran anjlok begitu saja. Harga tak lagi seperti dulu. Sebagai contoh, perhatikan data pada tabel berikut.
Daftar Harga Hasil Panen Petani
Grumbul Cilombang, Kec.Lumbir, Banyumas
Periode September 2016
No
Nama Hasil panen
Harga tertinggi (per Kg)
Harga sekarang (per Kg)
1
Merica
 Rp      180.000
 Rp        120.000
2
Jahe
 Rp        30.000
 Rp            2.500
3
Beras
 Rp        10.500
 Rp            7.500
4
gabah
 Rp          5.600
 Rp            4.500
5
singkong
 Rp          1.500
 Rp               600
6
cengkeh
 Rp      120.000
 Rp          80.000
7
Pisang (per tundun)
 Rp        25.000
 Rp          10.000
8
kapolaga
 Rp        80.000
 Rp          35.000
9
kedelai
 Rp        15.000
 Rp          11.000
10
cabai rawit
 Rp        20.000
 Rp          15.000
11
Kelapa (per butir)
 Rp          3.000
 Rp            2.000
Sumber : wawancara langsung
            Tabel diatas saya dapatkan dari hasil wawancara langsung dengan sekumpulan petani yang sedang berbincang-bincang saat itu. Terlihat jelas adanya ketimpangan harga saat musim panen tiba. Memang hal itu sudah menjadi hukum ilmu sosial, namun jelas itu sangat menyengsarakan para petani yang secara langsung mengolah sendiri hasil alam tersebut. Dari data tersebut saya mengambil sampel harga jahe untuk dibahas lebih dalam. Dulu di tempat saya melakukan wawancara dengan para petani tersebut, harga jahe sempat melejit sampai Rp. 30.000/kg. Jelas para petani bersyukur akan hal itu, karena mereka dapat memperoleh keuntungan atas apa yang telah mereka usahakan. Namun sekarang harga jahe hanya mencapai angka Rp.2.500/kg, itu jelas tak sebanding dengan modal yang mereka keluarkan untuk merawatnya. Rugi! Entah berapa banyak kerugian yang mereka alami. Saat ini, banyak jahe yang sampai membusuk dalam tanah, karena para petani tidak memanennya. Bagaimana mau dipanen, sementara para pengepul pun sudah tidak mau untuk menjualnya ke pasar karena para pengepul besar tidak membutuhkan banyak jahe lagi alasannya. Entah benar atau tidak, yang jelas para petani itu merasa sangat tidak sejahtera ditengah gencetan harga yang menjulang tinggi, namun bahan dagangan mereka dihargai sangat murah oleh pasar.
            Anjlognya harga pasti ada tangan kotor yang bermain di dalamnya. Siapa? Entahlah. Para petani itu tak dapat berbuat banyak, karena mereka tak mempunyai wewenang terhadap orang-orang yang berada di atasnya. Mereka juga rakyat kan? Ada wakil rakyat kah? Siapa mereka si wakil rakyat itu? Apa saja tugas mereka? Amanahkah mereka semua yang sekarang menjabat? Semoga saja. Kisah para petani itu hanya ulasan sedikit, tentang kesejahteraan yang timpang di Indonesia. Yang jelas masih ada banyak ketimpangan yang terjadi di luar sana baik yang terekspos media maupun tidak.
            Harapan belum mati. Masih ada titik terang untuk dapat merubah Indonesia, meski itu sulit, namun tak ada yang tak mungkin. Entah butuh waktu berapa tahun, berapa puluh tahun, atau bahkan ratusan tahun untuk merubah Indonesia menjadi Indonesia sejahtera. Itu bisa, jika dimulai dari dibenahinya para young generation, agar mereka sadar dan peduli akan nasib bangsa dan negaranya sendiri. Karena jika para generasi muda sekarang acuh tak acuh terhadap negara, maka di masa depan nanti negara ini pun akan acuh tak acuh terhadap mereka.

            Kembali menengok sejarah, adanya dasar negara Pancasila karena ada orang yang menyusunnya. Dan orang yang menyusunnya adalah orang-orang yang hebat pada masanya, dimana mereka memiliki harapan yang sangat besar pada negara ini, mereka memiliki rasa cinta tanah air yang sangat dalam. Jadi, apakah kita harus mengubur harapan para pahlawan itu yang sudah berjuang mati-matian membela negara ini dari kekuasaan penjajah yang tak berperikemanusiaan itu? Dahulu negara kita dijajah selama berabad-abad lamanya, dengan jiwa dan raga para pahlawan itu bahu membahu untuk mengusir penjajah asing dari bumi pertiwi sampai akhirnya diperolehlah kemerdekaan bagi kita. Sekarang merdeka hanyalah sebagai kata simbolis belaka, namun pada kenyataanya kita masih saja dijajah, penjajahan kapitalisme, bahkan oleh orang pribumi itu sendiri. Dan, kita harus tetap berjuang, bukan dengan senjata tajam layaknya bambu runcing lagi, namun kita harus berperang secara cerdas dengan otak dan hati kita, untuk memerangi mereka yang hanya mencari keuntungan belaka dari Indonesia yang majemuk ini.
Muhasabah
Kembali ke titik nol, bahkan minus. Menguak kembali masa awal, saat pertama tersadar dari lelap. Diri masih terang, tanpa coretan, tanpa lesuh goresan penghapus. Mengingat, apa saja yang pernah diri coretkan dlm tiap lembar. Tertunduk, terpejam, merenung. Diri terhanyut suasana. Diri menangis, diri menjerit. Fajar masih belum datang. Terdengar raungan dari 8 penjuru, diri masih ttp merunduk menyesali. Bahkan tangis semakin dalam dipenghujung sepertiga malam. Diri melayang, seolah sendiri, tanpa siapa2, berjalan hanya berarahkan keyakinan. Diri takut, amat dan sangat. Gemetar. Diri meronta, namun percuma. Sampai datang satu titik terang, namun jauh, sangat jauh. Diri terus melangkah mengejar titik itu, meski diri dalam ketakutan. Belum sampai diri di sudut titik, diri melihat putih dikanan diri. Ada bahagia disana, ada mahkota di sana. Diri melihat senyum orang2 yg diri sayang, dan yang sayang diri. Namun, pandangan diri beralih ke bidang kiri, diri terhentak, menjerit se keras diri mampu. Di kiri ada gelap, namun diri bisa melihat apa yg terjadi. Diri melihat rontaan orang2 yang diri sayang, dan sayang diri. Ini benar2 tak simetris dengan bidang kanan diri. Diri tak sanggup melihat segala siksa, diri beristighfar, diri terjatuh, tersungkur. Diri berusaha memalingkan pandangan dari sisi kiri. Diri hanya seonggok, benar2 merasa takut dlm sujud. Diri memohon cahaya datang, diri memohon penerangan, diri bersimba tinta hitam kelam. Diri lantas bangkit dan mulai melangkah lagi, kali ini cahaya sudah mulai jelas, tak sesamar sebelumnya. Diri mulai kembali ke alam sadar. Perlahan membuka mata yg sudah sembab, suasana kini tak sehening awal, 8 penjuru meraung lebih keras dari sebelumnya, solah sedang beradu keras dg derasnya air yg jatuh dari langit. Fajar menyongsong dlm hening, diri menyadari, diri amat rapuh, lebih rapuh dari yg terkira. Diri berusaha kuat krn ada orang2 hebat disekeliling diri. Sungguh, cahaya tadi amat dekat, bahkan lebih dekat dari yg terkira.
26.3.17